Senin, 09 Desember 2013

Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an

quran1_354693438A. Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW

Al-Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad Saw secara berangsur-angsur. Setiap Al-Qur’an turun, Rasulullah langsung mengajarkan ayat-ayat tersebut dan langsung mengajarkan kepada para sahabatnya dan mereka menghafalkannya di luar kepala. Selanjutnya para sahabat yang hafal Al-Qur’an disuruh pula oleh Rasulullah untuk mengajarkannya kepada yang lain.

Pada masa Rasulullah, para sahabat pun menuliskan ayat-ayat yang turun pada daun-daun, pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit-kulit binatang, tulang binatang dan sebagainya. Sahabat yang bisa menulis Al-Qur’an yang paling banyak menulisnya adalah Zaid bin Tsabit. Tulisan yang ditulis oleh para penulis wahyu itu disimpan di rumah Rasulullah. Disamping itu mereka juga menulis untuk mereka sendiri. Penulisan Al-Qur’an pada dasarnya telah dilakukan pada saat Rasulullah masih hidup, karena setiap ayat Al-Qur’an turun, Rasulullah menyuruh untuk menuliskan ayat-ayat tersebut dan kemudian juga menyuruh untuk dikumpulkan.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Utsman ibn Affan bahwa, apabila diturunkan kepada nabi sesuatu wahyu, beliau memanggil sekretaris untuk menulisnya kemudian bersabda “Letakkanlah ayat itu dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu.”

Al-Suyuti juga mengungkapkan suatu riwayat dari Zaid : “Kami biasa menyusun Al-Qur’an dari catatan kecil dengan disaksikan Rasulullah Saw”. Dengan demikian jelaslah bahwa penulisan Al-Qur’an telah dilakukan pada masa Rasulullah Saw. Hanya saja pada masa Rasulullah menulis Al-Qur’an masih ditulis di pelepah kurma, batu-batu, kulit binatang dan lain-lain, belum dimushafkan, karena pada saat itu turunnya Al-Qur’an masih berlangsung yang kadang-kadang dari surat tertentu tersela oleh turunnya ayat-ayat dari surat lain, sebelum atau sesudah surat tersebut, kemudian disusul oleh wahyu yang terdiri dari ayat-ayat yang merupakan bagian dari surat pertama, hingga akhirnya sempurna wahyu turunkan.

Kemudian juga karena setelah wahyu diturunkan secara sempurna tidak lama kemudian Rasulullah wafat, yaitu pada tahun diturunkannya ayat Al-Qur’an yang terakhir, sehingga tidak cukup waktu untuk mengumpulkan tulisan dan menyusun Al-Qur’an dalam satu mushaf. Kendati demikian sebelum wafat, Rasulullah mengumumkan kepada sejumlah sahabat tentang penyusunan Al-Qur’an, sehingga para huffaz (penghafal Al-Qur’an) bisa membacanya secara sempurna dan tersusun sebagaimana diperintahkan Rasul melalui pengajaran Jibril pada penurunan wahyu yang terakhir. Hal ini menjadi jaminan tersusunnya Al-Qur’an dalam satu mushaf.

 

B. Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq

Setelah Rasulullah meninggal, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah. Ketika beliau menjabat sebagai khalifah, diantara muslimin yang lemah imannya banyak yang murtad dan banyak yang menolak untuk mengeluarkan zakat karena pengaruh Musalimah al-Kadzab yang mengakui dirinya sebagai nabi, dimana ia berhasil mempengaruhi Bani Hanifah dari penduduk Yamamah. Setelah Abu Bakar mengetahui tindakan tersebut, beliau menyiapkan pasukannya yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, yang terkenal dengan nama perang Yamamah. Dalam peperangan itu banyak sekali hafiz Al-Qur’an yang gugur sekitar 70 penghafal Al-Qur’an. Setelah umat Islam yang berjuang dengan gigih maka pertolongan datang, barulah tentang Musailamah hancur dan lari, umat Islam mengejar mereka dan mereka terkepung dalam kebun kurma dan akhirnya Musailimah dan kawan-kawannya dapat dibunuh.

Melihat banyak sahabat penghafal Al-Qur’an yang gugur, timbullah hasrat Umar Ibnul Khattab untuk meminta kepada Abu Bakar agar Al-Qur’an dikumpulkan. Beliau khawatir Al-Qur’an akan berangsur-angsur hilang kalau hanya dihafal saja, karena para penghafalnya kian berkurang. Akhirnya setelah Umar menjelaskan latar belakangnya dan Abu Bakar merenung dan berpikir, maka dikirimlah surat kepada Zaib bin Tsabit, seorang penulis wahyu. Kemudian Zaid menghadap Abu Bakar dan Umar untuk mendengarkan apa yang dikehendaki oleh keduanya.

Diriwayatkan oleh Abu Bukhary dalam shahihnya dari Zaid ibn Tsabit, ujarnya: “Abu Bakar memberi tahu kepadaku tentang orang-orang syahid dalam peperangan Yamamah, lalu akupun datang kepada Abu Bakar, kebetulan Umar ada di majlis. Abu Bakar berkata: “Umar datang kepadaku menerangkan bahwa peperangan Yamamah telah menewaskan para qurra dan takut akan terus bertambah yuang menyebabkan hilangnya Al-Qur’an. Saya menjawab : Bagaimana kita lakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul ? Umar terus-menerus (berulang kali) mendesak aku menulis Al-Qur’an, sehingga Allah melapangkan hatiku untuknya dan mengakui kebenaran pendapat Umar. Kata Zaid seterusnya: Abu Bakar berkata kepadaku. Engkau wahai Zaid, seorang pemuda yang berakal. Kami percaya keagunganmu. Kamu seorang penulis wahyu di masa Rasul, maka periksalah Al-Qur’an, atau carilah shuhuf-shuhuf Al-Qur’an (kepingan-kepingan yang tertulis Al-Qur’an) dan periksalah satu persatunya kemudian kumpulkanlah. Kata Zaid, “Demi Allah sekiranya mereka membebankan daku membawa gunung, tiadalah yang demikian itu lebih berat dari pada mengumpulkan Al-Qur’an. Karenanya aku berkata : Betapa anda kerjakan sesuatu yang tidak dikerjakan nabi. Menjawab Abu Bakar : Demi Allah, ini sesuatu perbuatan yang sangat baik. Maka sesudah berulang kali Abu Bakar menyuruh aku mengerjakan, barulah hatiku dilapangkan Allah, sebagaimana telah dilapangkan hati Abu Bakar dan Umar. Maka akupun memeriksa Al-Qur’an dan mengumpulkan kepingan-kepingannya dan mendatangi orang-orang yang menghafalnya. Sesudah aku lakukan usaha itu dan aku kumpulkan segala kepingan tersebut, nyatalah bahwa ada suatu ayat yang aku dengar dari Rasul yang tidak ada tertulis dalam kepingan. Aku lanjutkan pencarian, maka aku dapati ia pada seorang Anshar, Abu Khuzamah ibn Aus al-Anshary yaitu ayat dalam surat al-Ahzab:33 dan sesudah itu kedapatan pula suatu ayat yang tidak terdapat dalam kepingan-kepingan tersebut. Maka setelah aku pergi bertanya kepada para muhajirin dan para anshor, akupun mendapatinya pada Khuzaimah bin Tsabit yaitu pada surat al-Taubah ayat 128-129.

Zaid bin Tsabit dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh beberapa sahabat lain diantaranya : Ubay ibn Kalb, Ali ibn Abi Thalib dan Usman ibn Affan. Mereka adalah penghafal Al-Qur’an yang berulangkali mengadakan pertemuan dan mereka mengumpulkan tulisan-tulisan yang mereka tuliskan di masa nabi. Maka dalam usaha badan ini terkumpul didalam shuhuf dari lembaran-lembaran kertas.

 

C. Kodifikasi pada masa Khalifah Umar bin Khattab r.a.

Setelah Abu Bakar wafat, shuhuf-shuhuf itu dipegang Umar r.a. Menurut suatu riwayat Umar menyuruh menyalin Al-Qur’an dari shuhuf-shuhuf itu pada suatu sahifah (lembaran).

Sesudah Umar wafat shuhuf atau sahifah itu disimpan oleh anak beliau Hafshah. Nyatalah dari berbagai riwayat, bahwa Zaid ibn Tsabit menyempurnakan pentadwinan shuhuf dimasa Abu Bakar sendiri. Dan nyata pula dari berbagai riwayat, bahwa yang menyimpan shuhuf itu, ialah khalifah. Mula-mula Abu Bakar, sesudah itu Umar dan sesudahnya, Hafshah. Adapun sebabnya disimpan oleh Hafshah, tidak oleh Utsman sebagai khalifah, karena :

a. Hafshah itu istri rasul dan anak khalifah.

b. Hafshah itu seorang yang pandai menulis dan pandai membaca.

Abu Bakar dan Umar tidak menyuruh menyalin banyak, karena shuhuf-shuhuf yang ditulis itu dimaksudkan menjadi orisinilnya saja, bukan untuk dipergunakan oleh orang-orang yang hendak menghafalnya. Para sahabat yang telah belajar Al-Qur’an pada masa nabi, masih hidup dan para pelajar Al-Qur’an yang mengajar secara hafalanpun masih banyak.

 

D. Kodifikasi Al-Qur’an di masa Khalifah Utsman ra.

Sesudah beberapa tahun berlalu dari pemerintahan Utsman timbullah usaha dari para sahabat untuk meninjau kembali shuhuf-shuhuf yang telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit.

Diriwayatkan oleh Bukhary dari Anas, bahwa Hudzaifah Ibnul Yaman datang kepada Utsman karena melihat hebatnya perselisihan dalam soal qiraat. Hudzaifah meminta kepada Utsman supaya lekas memperbaiki keadaan itu, lekas menghilangkan perselisihan bacaan agar umat Islam jangan berselisih mengenai kitab mereka, seperti keadaan orang-orang Yahudi dan Nashara.

Sebagaimana diriwayatkan dari Abi Qilabah bahwasanya ia berkata pada pemerintahan Utsman, guru (pengajar) menyampaikan kepada anak didiknya, guru yang lain juga menyampaikan kepada anak didiknya. Dan kedua kelompok murid tersebut bertemu dan bacaannya berbeda. Akhirnya masalah tersebut sampai kepada guru/pengajarnya sehingga satu sama lain saling mengufurkan. Berita tersebut sampai kepada Utsman. Utsman berpidato seraya mengatakan : “Kalian yang ada dihadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya.

Sebagaimana Abu Bakar memperkenankan kehendak Umar, Utsman pun memperkenankan kehendak Hudzaifah. Kemudian Utsman mengirimkan surat kepada Hafshah binti Umar, istri Rasul meminta shuhuf yang disimpannya. Setelah shuhuf itu dikirimkan kepada Utsman, dipanggillah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam sebagai penulis wahyu, agar mereka menyalin shuhuf ini. Upaya Utsman dalam mengumpulkan Al-Qur’an tidak berhenti sampai disini, bahkan memanggil kaum muslimin seorang demi seorang dan mengajukan pertanyaan : “apakah anda telah mendengar wahyu yang didiktekan Rasul ? Mereka menjawab : Ya”. Setelah selesai wawancara ia bertanya: Siapakah diantara mereka yang paling baik tulisannya ? Mereka menjawab Zaid bin Tsabit, penulis Rasulullah, selanjutnya Utsman bertanya siapa diantara mereka yang paling menguasai bahasa Arab ? Mereka menjawab : “Saib bin al-As dialeknya paling banyak persamaannya dengan Rasulullah. Kemudian Utsman berkata : Sebaiknya Zaid yang mendiktekan dan Zaid yang menulisnya”.

Disamping itu Utsman juga mengadakan penelitian terhadap shuhuf yang telah sempurna pengumpulannya pada zaman Abu Bakar dan Umar. Shuhuf yang disimpan Hafshah itulah yang mewarnai mushaf pertama yang dijadikan sebagai pegangan. Oleh karena itulah tidak terdapat perselisihan antara Zaid dengan Sa’id sedikitpun, keduanya menemukan apa yang terkumpul sejak masa Abu Bakar dan Umar. Itulah mushaf yang dibukukan Utsman, upaya kedua sesudah Abu Bakar dan dapat disaksikan masyarakat luas.

Dengan demikian khalifah dapat mengatasi benih-benih perpecahan dikalangan umat dalam masalah bacaan Al-Qur’an. Para sahabat lainpun menerima seruan Utsman ini untuk mengikuti mushaf standar dan membakar mushaf selainnya. Dengan demikian umat Islam sepakat terhadap mushaf Utsman. Setelah badan ini selesai melaksanakan tugasnya, shuhuf-shuhuf itupun dikembalikan lagi kepada Hafshah. Badan ini menyalin beberapa mushaf kemudian dikirimkan ke Mekkah sebuah, ke Kufah sebuah, ke Bashrah sebuah, ke Yaman sebuah dan sebuah lagi ke Syam. Sedang salinan yang asli tinggal pada Utsman sendiri. Kemudian Utsman memerintahkan supaya disita segala shuhuf dalam masyarakat, kecuali shuhuf yang ditulis oleh sahabat besar seperti mushaf Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab.

Dari mushaf Utsman itulah kaum muslimin di seluruh pelosok dunia menyalin Al-Qur’an. Abu Bakar dan Umar pada waktu itu tidak menyuruh untuk menyalin shuhuf-shuhuf itu sebagai shuhuf yang asli bukan untuk dipergunakan oleh orang-orang yang mau menghafalkannya. Karena para sahabat yang telah belajar Al-Qur’an dari nabi masih banyak yang hidup bahkan yang hafal seluruh Al-Qur’an pun masih banyak. Badan yang dibentuk oleh Utsman untuk menyalin mushaf itu menjalankan tugasnya hingga selesai tahun 25 H sampai 30 H.

Dengan uraian di atas kita ketahui bahwa tujuan pengumpulan Al-Qur’an pada zaman Abu Bakar adalah mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushaf agar jangan sampai ada ayat/kalimat yang hilang. Sedang tujuan pembukuan Al-Qur’an pada masa Utsman adalah menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam tulisan dan ejaannya, penyeragaman sistem bacaan dan tertib susunan surat-suratnya.

 

E. Al-Qur’an sesudah Khalifah Utsman dan permulaan Al-Qur’an dicetak

Dari nash-nash yang dikirim Utsman itu umat Islam menyalin Al-Qur’an untuk mereka masing-masing dengan sangat hati-hati, hemat dan cermat. Abdul Aziz ibn Marwan gubernur Mesir, setelah menulis mushafnya, menyuruh orang memeriksa seraya berkata: “Barangsiapa dapat menunjukkan barang sesuatu kesalahan dalam salinan ini, diberikan kepadanya seekor kuda dan 30 dinar”. Diantara yang memeriksa itu ada seorang qari yang dapat menunjukkan suatu kesalahan, yaitu perkataan najah padahal sebenarnya naja.

Penyalinan terhadap mushaf-mushaf Utsman dilakukan sangat pesat sekali. Suatu riwayat mengatakan bahwa ketika peperangan antara Ali dan Muawiyah, jumlah mushaf yang diangkat diatas tombal ada 300 buah, meskipun pada waktu itu penyalinan dilakukan dengan tulisan tangan saja. Ini menunjukkan betapa pesat perkembangan jumlah mushaf.

 

F. Permulaan Al-Qur’an dicetak

Pada tahun 1530 M, Al-Qur’an mulai pertama kali dicetak di Venesia (Bunduqiyah). Tetapi cetakan Al-Qur’an itu dibakar atas suruhan/perintah penguasa gereja. Kemudian Hinkelmann melakukan pencetakan Al-Qur’an di kota Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M. Kemudian dirinya oleh Marrocci dengan mencetaknya di Padone pada tahun 1698 M. Kemudian muncul cetakan pertama secara Islam dilakukan oleh Maulaya Usman di Saint Petersburg, Rusia pada tahun 1873 M, seperti itu juga di Qazani. Di Iran terjadi percetakan dua kali, tahun 1828 M di Teheran dan pada tahun 1833 M di Tibriz, Flugel mencetak Al-Qur’an di Leipzig pada tahun 1834 M. Akhirnya percetakan Al-Qur’an pun berkembang di seluruh dunia hingga ke Indonesia yaitu yang biasa kita baca tiap hari.

 

KESIMPULAN

Jadi kodifikasi Al-Qur’an ada beberapa fase yaitu kodifikasi pada masa Rasulullah Saw dan pada masa khalifah. Pada masa Rasulullah Saw setiap ayat Al-Qur’an turun langsung dihafalkan di luar kepala oleh nabi dan diajarkan pula kepada para sahabat yang langsung dihafalkan oleh mereka di luar kepala. Selanjutnya para sahabat yang hafal Al-Qur’an disuruh pula oleh nabi untuk mengajarkannya kepada yang lain. Pada masa rasul para sahabat pun menuliskan ayat yang turun pada alat-alat tulis yang mereka miliki, seperti pelepah kurma, batu-batu tipis, dedaunan, kulit binatang, kemudian disimpan di rumah rasul.

Dengan demikian jelaslah bahwa kodifikasi Al-Qur’an telah dilakukan secara sempurna pada masa Rasulullah. Hanya saja pada masa rasul pengumpulan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf (secara tersusun dan surat-suratnya) belum dilakukan karena pada saat itu turunnya Al-Qur’an masih berlangsung yang kadang-kadang dari surat tertentu tersela oleh turunnya ayat-ayat dari surat lain, sebelum atau sesudah surat tersebut, kemudian disusul oelh wahyu yang terdiri dari ayat-ayat yang merupakan bagian dari surat pertama, hingga akhirnya sempurna wahyu diturunkan dan Rasulullah Saw meninggal.

Pada masa sahabat, Al-Qur’an sudah tertulis, tetapi belum terkumpul dalam satu mushaf, ayat-ayat itu masih berserakan. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar r.a., Umar bin Khattab menyarankan agar Al-Qur’an ditulis dan dikumpulkan dalam satu mushaf. Kendatipun pada awalnya Abu Bakar menolak dengan alasan rasulpun tidak melakukannya, tetapi karena keperluan itu dirasakan sangat perlu dan mendesak apalagi setelah terjadinya peperangan melawan orang-orang murtad yang banyak menewaskan para penghafal Al-Qur’an, maka Abu Bakar memerintahkan Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Umayah bin Ka’abdan Utsman bin Affan untuk menulis dan membukukannya. Setelah disusun, mushaf itu disimpan oleh Abu Bakar, setelah beliau wafat, mushaf itu dipegang oleh Umar bin Khattab, dan kemudian setelah Umar wafat disimpan oleh Hafshah binti Umar. Setelah itu Utsman pun menjadi khalifah dan meminta mushaf itu kepada Hafshah untuk diperbanyak karena pada saat itu banyak perbedaan bacaan, oleh karena itu untuk menghilangkan perselisihan tersebut.

Khalifah Utsman menggandakan mushaf Al-Qur’an menjadi 5 buah, kemudian beliau mengirimkannya ke berbagai daerah sebagai rujukan dan dasar pemerintahan di daerah-daerah kedaulatan Islam. Sejak saat itu mushal Al-Qur’an itu menjadi rujukan bagi penulisan mushaf selanjutnya, dan tersebar ke seluruh dunia Islam, sehingga sampai sekarang Al-Qur’an yang tersebar di seluruh dunia Islam tidak terdapat perbedaan didalamnya.

===============================@@===============================
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I, Pustaka Setia, Jakarta, 2000.

Ahmad Toto Suryana, dkk, Pendidikan Agama Islam, Tiga Mutiara, Bandung, 1996.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997.

Al-Namir: Abd. Al-Mu’min, Ulum Al-Qur’an Al-Karim, Dar Al-Kutb al-Mishri, Kairo, 1993.

Sumber gambar dari sini

NB: Makalah ini disusun pada tahun 2006 oleh Sri Hartati, mahasiswa STAIN Cirebon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih pada pengunjung dan silahkan tinggalkan komentar disini.... :)