Kamis, 26 April 2012

Ketika Indonesia Menjadi Pilihan Terakhir

Mengapa investasi asing di Indonesia terus menurun, justru pada saat negara-negara lain mengalami pemulihan, bahkan lonjakan tajam arus masuk investasi. Juga, kenapa investor hengkang, padahal dalam berbagai kesempatan para pejabat pemerintah masih begitu ‘pede’nya menyatakan, Indonesia sangat kompetitif, terutama dengan sumber daya melimpah dan upah buruhnya yang murah.

Memang benar dari sisi biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan usaha (cost of doing business), Indonesia sebenarnya tergolong sangat kompetitif di Asia, seperti ditunjukkan dalam survey Political and Economic Risk (PERC).

Sayangnya, sangat kompetitifnya Indonesia dilihat dari biaya untuk menjalankan usaha ini tidak cukup kuat dipakai untuk membujuk investor datang atau bertahan, karena pada saat yang sama risiko politik dinilai masih cukup tinggi. 

Upah buruh ternyata juga bukan satu-satunya faktor penentu masuk atau tidanya investasi, bertahan atau tidaknya investor dan ada atau tidaknya minat investor untuk melakukan ekspansi bisnis di suatu negara.

Dari survei PERC, setidaknya ada tujuh faktor lain yang dianggap penting oleh investor. Faktor-faktor tersebut adalah kemudian mendirikan usaha, ada atau tidaknya diskriminasi terhadap investasi asing yang baru masuk, ada atau tidaknya perlkuan sama untuk investor asing yang sudah masuk dengan pelaku usaha lokal, transparansi dalam persetujuan dan izin investasi. Ramah-tidanya kebijakan imigrasi, ada atau tidaknya mekanisme bagi investor untuk menyampaikan keluhannya kepada pemerintah, serta tingkat responsivitas (kepekaan) pemerintah dalam menanggapi keluhan-keluhan investor. 

Hampir dalam semua aspek tersebut, Indonesia merupakan yang terburuk kedua, setelah dihadapi investor di negara ini, sehingga upah buruh murah pun sudah tidak mampu lagi menjadi daya tarik investor. 

Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia merupakan tenaga kerja berketerampilan rendah, sehingga prodduktivitasnya juga rendah. Banyak investor yang mengeluhkan sulitnya mencari, menyewa, atau mempertahankan staf yang berketerampilan tinggi. Sebenarnya investor ingin melibatkan sebanyak mungkin komponen lokal, agar biaya produksi bisa ditekan. 

Namun, di Indonesia ternyata ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Akibatnya, banyak perusahaan asing akhirnya terpaksa harus menggunakan staf ekspatriat. Selain itu, para investor asing juga resah dengan semakin meningkatnya kecenderungan radikalisme dan akvitisme buruh. 

Ini salah satu alasan, mengapa investasi yang masuk lebih banyak di industri-industri ekstraktif, seperti minyak dan gas (migas), yang biasanya berlokasi di wilayah-wilayah yang agak terpencil. Dengan demikian, lebih mudah menghindar dari potensi-potensi kerusahan sosial, yang biasanya lebih mudah terpicu di daerah perkotaan. 

Dilihat dari upah buruh, daya saing Indonesia setara dengan Cina, yakni yang termurah dari 12 negara Asia yang disurvei PERC (yakni Cina, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura dan Korsel). Namun, dari etos kerja, Indonesia ternyata yang terburuk di Asia. Ini tercermin dari skor indeks persepsi Indonesia di mata para ekspatriat yang disurvei yang angkanya 7,50. 

Perbedaan nyata tenaga kerja di Indonesia dengan Cina, menurut seorang guru besar sebuah universitas terkemuka di Jepang, adalah di Cina tenaga kerja dari semua level keterampilan tersedia dalam jumlah melimpah dan juga murah. Persepsi investor terhadap buruh Cina pun cukup baik. Para buruh Cina dikenal sangat rajin, tidak banyak cing-cong dan memiliki kemauan tinggi untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan dirinya. 

Meskipun tingkat upah tenaga kerja untuk level keterampilan tinggi belakangan ini mulai meningkat dengan cepat di Cina, tetap saja besarnya masih relatif rendah untuk standar internasional. Di Malaysia, Filipina, dan India, tenaga kerja berketerampilan tinggi juga tidak sulit dicari. Malaysia memiliki tenaga terampil yang kualitasnya lebih baik dibandingkan kebanyakan negara berkembang Asia lainnya. Hanya sayangnya, jumlahnya terbatas sehingga terjadi kelangkaan suplai tenaga kerja yang menyebabkan upah dengan cepat juga membubung tinggi. 

Di Filipina, tenaga kerja merupakan salah satu aset terbaik dan potensi besar perekonomian, karena mereka umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang baik dan fasih berbahasa Inggris. Dengan begitu, perusahaan asing yang beroperasi di sana hampir tidak menghadapi kendala dalam hal tenaga kerja. 

Di Thailand, kondisinya kurang lebih sama dengan di Indonesia. Langkanya tenaga kerja berketerampilan tinggi ikut menghambat investasi dan ekspansi produksi, meskipun dalam hal tingkat upah buruh dan risiko radikalisme buruh, Thailand sebenarnya merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Untuk Vietnam, upah buruh sangat rendah, namun kualitasnya umumnya juga rendah. 

Jika dalam hal buruh atau tenaga kerja Indonesia masih lumayan kompetitif di mata investor, tidak demikian halnya jika dilihat dari faktor kepastian hukum. Survei PERC menunjukkan Indonesia yang paling payah dalam hal penegakan supremasi hukum. 

Dari angket yang dilakukan Gallup bulan April lalu, hampir dua pertiga (persisnya 73 persen) pengusaha AS di Asia Tenggara merencanakan melakukan bisnis di Asia dalam dua tahun ke depan. Namun, dari jumlah tersebut, dua pertiganya memilih Cina sebagai tempat untuk ekspansi.


2 komentar:

  1. Kami yakin Indonesia akan menjadi negara besar dan diperhitungkan oleh dunia... :)

    BalasHapus
  2. amiin... terus dukung indonesia....

    BalasHapus

Terimakasih pada pengunjung dan silahkan tinggalkan komentar disini.... :)