Kamis, 18 Oktober 2012

Filsafat "Ibnu Thufail"


Sumber Gambar
PENDAHULUAN

Dunia Islam telah melahirkan banyak para ahli filsafat yang hebat dengan karya-karyanya yang sangat luar biasa, tetapi mereka dianggap sebagai satu kelompok yang hilang dalam sejarah pemikiran manusia, maka tidak heran lagi apabila sejarah lebih mengenal tokoh-tokoh Yunani dan Barat dibandingkan dengan tokoh-tokoh filsafat Islam.

Beberapa tokoh filsafat Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina memang mendapat pengiktirafan Barat, tetapi mereka tidak mendapat tempat sewajarnya dibandingkan dengan ahli filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Ini mungkin disebabkan kajian mengenai mereka masih belum memadai dan jauh dari pada memuaskan.

Begitu juga dengan pemikiran filsafat Ibnu Tufail. Ibnu Tufail dikenal sebagai ahli hukum, matematik, penyair, dan ahli politik. Beliau juga pernah menjadi doctor pribadi pada pemerintah Al-Muwahidd, selain itu juga Beliau melibatkan dirinya dalam bidang pendidikan, pengadilan, dan penulisan.

Itulah segelumit cerita dari Ibnu Thufail sebagai pembuka dan untuk pembahasan yang lebih lengkap, akan dibahas pada bab selanjutnya.

BIOGRAFI IBNU THUFAIL

Nama lengkap Ibnu Thufail adalah Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail Al-Qaisyi. Di Barat beliau dikenal dengan nama Abubacer. Beliau dilahirkan di Guadix, 40 mil di timur laut Granada pada 506 H/1110 M dan meninggal di kota Marraqesh, Marokko pada 581 H/ 1185 M. Sebagai seorang turunan suku Qaisy, suku Arab terkemuka, ia dengan mudah mendapatkan fasilitas belajar, apalagi kecintaannya kepada buku-buku dan ilmu pengetahuan mengalahkan cintanya kepada sesama manusia. Hal ini mengantarkannya menjadi seorang ilmuan dalam banyak bidang, seperti lazimnya ilmuan pada masa itu yang meliputi kedokteran, kesusastraan, matematika, dan filsafat. Kedokteran dan filsafat dipelajarinya di Seville dan Gordova.

Profesi kedokteran dan keuletannya bekerja menyebabkan ia dipercaya menjadi sekretaris Gubernur Granada, kemudian sekretaris Gubernur Ceuta, dan akhirnya sebagai dokter pribadi Abu Yusuf Ya’qub al-Manshur, Khalifah Daulat Muwahhidin (1163-1184 M).

Pada waktu Khalifah memintanya melanjutkan pekerjaan Ibn Bajjah untuk mengomentari karya Aristoteles, ia menampik dan mengusulkan ilmuan muda, Ibn Rusyd (1169 M). Sikap Ibn Thufail ini menunjukkan kematangan ilmunya sehingga ia merasa perlu mempromosikan Ibn Rusyd pada jabatan terhormat dan pelanjut sesuai dengan sifat ilmu yang progress. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari minat Khalifah terhadap ilmu sebagai faktor pemicu.

Dalam bidang filsafat, Ibn Thufail dengan gigih menserasikan sains Yunani dengan hikmah Timur, atau antara filsafat dengan agama. Wujud konkrit perpaduan ini tergambar dalam karyanya Hayy Ibn Yaqzhan (Hidup Anak Sisadar). Tamsil yang dimunculkannya dalam roman filsafat ini sarat makna dan kritis.

KARYA-KARYA IBNU THUFAIL

Sebenarnya Ibn Thufail lebih menggemari merenung daripada kecenderungan untuk menulis, karena itu tidak heran kalau hasil karyanya sedikit untuk generasi berikutnya. Namun, beberapa buku biografi menyebutkan bahwa ia sempat menulis sejumlah buku dalam beberapa bidang: filsafat, fisika, kejiwaan, dan kedokteran. Tetapi karangan tersebut hanya satu yang sampai kepada kita, yaitu Hayy Ibn Yaqzhan, yang merupakan inti sari pemikiran-pemikiran Ibn Thufail, dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Menurut Montgomery Watt, buku inilah yang mungkin merupakan karya filsafat dalam bahasa Arab paling menarik. Suatu manuskrip di perpustakaan Escurrial yang berjudul Asrar al-Hikmah al-Masyriqiyyah (rahasia-rahasia filsafat Timur) hanyalah sebagai ringkasan dari buku Hayy Ibn Yaqzhan tersebut. Nama lengkap buku tersebut adalah Risalah Hayy Ibn Yaqzhan fi asrar al-Hikmah al-Masyriqiyyah. Adapun buku karangan lainnya diperkirakan hilang di saat terjadi kekacauan dan peperangan di Maghribi.

Tetapi, menurut Ibn Khathib ada dua buku tentang kedokteran yang dapat dikatakan merupakan karya ibn Thufail, setidaknya ditulis oleh dua orang muridnya yang dipersembahkan kepada Ibn Thufail, yaitu karya Al-Bithruji berjudul Kitab al-Hai’ah, dan karya Ibn Rusyd berjudul fi al-Buqa’ al-Maskunah wa al-Ghair al-Maskunah.

Sebenarnya inti dari semua pemikiran Ibn Tufail termuat dalam karyanya Hayy Ibn Yaqzhan. Dalam mukadimahnya Ibn Thufail menjelaskan tujuan penulisan buku itu untuk menyaksikan kebenaran (al-haqq) menurut cara yang ditempuh oleh para Ahl al-zauq dan Musyahadah yang telah mencapai tingkat kewalian. Ini tidak mungkin dapat dijelaskan hakikatnya dalam buku, tetapi hanya bisa dikemukakan dengan lambang. Ibn Thufail menyajikan hakikat Hayy Ibn Yaqzhan untuk membangkitkan minat atau sebagai anjuran agar manusia bersedia menempuh jalan itu. Menjelaskan secara ringkas isi risalah tersebut amatlah sulit, karena isinya yang padat dan penuh tamsil. Namun demikian, untuk mengetahui garis besar kandungan filsafatnya dapat dilakukan dengan melihat kerangka dasarnya.

Roman tersebut mengisahkan dua jenis kehidupan manusia di dua pulau. Pulau pertama berisikan kehidupan individu manusia, sedangkan pulau kedua berisi kehidupan masyarakat manusia. Dua jenis kehidupan tersebut dicoba dipertemukan, tetapi tidak berhasil, hanya sebatas “saling mengerti”. Masing-masing kehidupan itu terkait dengan proses, alat, tingkat pengetahuan (ma’rifah), dan rumusan kebahagiaan yang dapat dicapai.

Dalam roman tersebut kalau diceritakan lebih rincinya yaitu ada tujuah fase kehidupan yang dilalui Hayy, yaitu:
  1. Hayy dipelihara seekor kijang, hingga ia dapat belajar tindak tanduk dan bahasa hewan sekelilingnya. Ia mulai menutupi tubuhnya, membuat tempat terteduh, dan mempersenjatai dirinya. Bahkan, ia mulai menyimpan bahan makanan untuk persiapan.
  2. Kijang yang memeliharanya mati. Hayy berusaha untuk mengetahui penyebab kematian kijang ini dan kematian binatang-binatang lainnya. Hasil penyelidikannya menyimpulkan adanya jiwa (roh) yang merupakan daya sentral dan bersifat immateri. Jiwa tersebut berfungsi sebagai penggerak jasad.
  3. Hayy mulai mengetahui api, kegunaan dan sumbernya. Dari pemikirannya tentang itu, ia sampai kepada kesimpulan tentang adanya kausalitas yang menyebabkan adanya tertib alam dan akal budi.
  4. Hayy mulai mengetahui kesatuan dan keberagaman pada jasad dan jiwa yang telah diamatinya. Pada tahap ini, ia telah sampai kepada generalisasi dan klasifikasi berdasarkan kesatuan dan keberagaman itu.
  5. Hayy melihat ke atas dan memperhatikan benda-benda langit. Dari pengamatannya itu ia mengetahui astronomi. Namun, yang lebih penting lagi, dengan melihat ketertiban dan keteraturan serta pergerakan dan perubahannya, ia memikirkan kesamaan dengan bumi atau makhluk bumi dan menyimpulkan kepastian adanya penggerak tertentu yang sama untuk semuanya.
  6. Hayy menegaskan bahwa perbedaan perjalanan antara jasad yang materi dengan jiwa yang immateri, disamping menemukan kepastian adanya penggerak yang disebut wajib al-wujud. Menurutnya asal alam materi itu tidak mungkin materi lagi. karena jika demikian, tentulah adanya rangkaian materi yang tidak pernah berujung. Jadi, asal pertama ini haruslah immateri dan wajib al-wujud. Jasad itu berbeda perjalanannya dengan jiwa. Jiwa yang immateri itulah yang dapat mengetahui wajib al-wujud, dan selalu tunduk kepada-Nya, dengan begitu jiwa tersebut akan abadi. Sebaliknya, jiwa yang tidak mengenal dan tunduk kepada-Nya akan hancur. Hayy memikirkan hal seperti itu hingga memasuki fase ketujuh.
  7. Hayy berkesimpulan bahwa Tuhan itu pasti baik dan dijaksana, sempurna, penuh rahmat, dan menjadi tujuan setiap manusia. Karena itu, puncak kebahagiaan menuyrutnya hanya dpat dicapai bila seseorang selalu berhubungan jiwanya dengan Tuhan tanpa henti, selalu merenungkan dan memi9kirkannya serta melepaskan diri dari dunia materi. Dengan perenungan yang demikian, seseorang akan sampai kepada obyek pengetahuan yang paling tinggi, yakni wajib al-wujud tadi, dan itulah puncak yang senantiasa didambakan setiap manusia.

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN IBNU THUFAIL

Filsafat dan Agama

Menurut Ibn Thufail, filsafat dan agama adalah selaras, bahkan merupakan gambaran dari hakikat yang satu. Yang dimaksudkan agama disini adalah batin dari syari’at. Ibn Thufail juga menyadari adanya perbedaan tingkat akal antara sesama manusia. Kesadaran tersebut tergambar dari tokoh-tokoh dalam roman filsafat tersebut. Karena itu, ia menganggap tidak semua orang dapat sampai kepada wajib al-wujud dengan jalan berfilsafat seperti yang ditempuh oleh Hayy. Asal, Salaman, dan masyarakat awam tidak mungkin mengetahui al-haq, karena keterbatasan akalnya. Dalam hal inilah dibutuhkan penolong, yakni adanya nubuwwah yang berfungsi menjelaskan sesuai dengan kadar akal manusia. Asal, karena akalnya melebihi akal Salaman dan masyarakat awam, maka ia bukan saja dapat memahami batin syari’at, tetapi juga bisa menerima pengalaman-pengalaman Hayy. Jadi, Asal dapat sampai kepada Musyahadah Allah seperti Hayy. Salaman yang kemampuan akalnya lebih tinggi dari masyarakat awam, maka ia dpat memahami zahir syari’at, tetapi tidak dapat memahami batin syari’at. Adapun kaum awam dengan kemampuan akal yang rendah lebih sulit lagi memahami syari’at yang zahir sekalipun.

Uraian di atas menggambarkan keberhasilan Ibn Thufail merajut berbagai pemikiran yang berkembang di masanya dalam suatu karya menumental, Hayy Ibn Yaqzhan. Lewat karya ini juga, Ibn Thufail berhasil memaparkan bahwa akal “khusus” setelah melalui tahapan perkembangan akan dapat mengetahui obyek kebenaran tertinggi yaitu Allah, sama dengan yang digambarkan wahyu. Namun demikian, wahyu tetap dibutuhkan, selain untuk memberikan bimbingan kepada akal yang tidak mampu mencapai tingkat khusus tadi, juga sebagai petunjuk pelaksanaan ibadah yang tidak dapat dicapai oleh usaha akal khusus sekalipun. Karena yang memberikan cara penyembahan itu adalah yang disembah itu sendiri, yakni Allah, dan ini diakui oleh Ibn Thufail sebagai ekspresi jiwa keislamannya.

Metafisika
Bagi Ibn Thufail dalil adanya Allah adalah gerak alam. Sesuatu yang bergerak tidak mungkin terjadi sendiri tanpa penggerak yang berada di luar alam, dan berbeda dengan yang digerakkan. Penggerak itu adalah Allah. Temtang zat dan sifat Allah, Ibn Thufail lebih cenderung mengikuti pendpaat mu’tazilah. Allah adalah Maha kuasa, Maha Mengetahui terhadap perbuatan-Nya, serta Maha Bebas dalam segala kehendak-Nya. Allah adalah pemberi wujud kepada smeua makhluk. Tetapi, ia tidak mungkin dirasai dan di khayalkan, karena khayalan hanya mungkin mengenai hal-hal inderawi. Sifat-sifat Allah yang maha sempurna itu tidak berlainan dengan zat-Nya. Jadi, Allah mengetahui, berkuasa, dan sebagainya bukan dengan sifat ilmu dan kudrah, tetapi dengan zat-Nya semata sebagaimana dipahami oleh golongan Mu’tazilah.
Menurut Ibn Thufail alam dan Tuhan sama-sama kekal. Tetapi ia juga membedakan antara kekekalan dalam esensi dan kekekalan dalam waktu. Ibn Thufail percaya bahwa Tuhan ada sebelum adanya alam dalam hal esensi tetapi tidak dalam hal waktu.

Epistimologi
Ibn Thufail menunjukkan dua jalan untuk sampai kepada obyek pengetahuan yang Maha Tinggi atau Tuhan. Jalan pertama ialah melalui wahyu, seperti ditempuh oleh Asal, dan jalan kedua adalah filsafat, semisal yang dilakukan Hayy. Jalan pertama lebih pendek daripada jalan kedua.

Dari simpulan cerita dapat digambarkan bahwa ma’rifah melalui akal ditempuh dengan jalan keterbukaan, mengamati, meneliti, mencari, mencoba, membandingkan, klasifikasi, generalisasi, dan menyimpulkan. Jadi ma’rifah merupakan sesuatu yang dilatih mulai dari yang konkrit berlanjut kepada yang abstrak. Dari yang khusus menuju global. Seterusnya dilanjutkan dengan perenungan yang terus menerus. Karena sifatnya yang demikian, maka ma’rifah jenis ini sesuatu yang dilatih, berkembang, bertingkat, dan beragam. Ibn Thufail juga menjelaskan proses fisinya, apa yang ditangkap oleh indra disampaikan ke otak lewat jalur syaraf, kemudian otak mengolahnya dan mengembalikannya ke seluruh tubuh lewat jalur yang sama sebagau suatu persepsi.

Ma’rifah melalui agama terjadi lewat pemahaman wahyu dan menghayati segi batinnya dengan dzauq. Hasilnya hanya bisa dirasakan, sulit untuk dikatakan. Lebih jauh, tidak heran kalau muncul syathahat dari mulut seorang sufi.

Kosmologi Cahaya
Ibn Thufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. manifestasi kemajemukan kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya Neo-platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses itu pada prinsipnya sama dengan refleksi terus-menerus cahaya matahari pada cermin.

Jiwa
Ibn Thufail berkaitan dengan konsepnya tentang jiwa pada dasarnya sejalan dengan konsep Al-Farabi, yakni ada tiga kategori jiwa, yaitu pertama: jiwa fadhilah, yakni yang kekal dalam kebahagiaan karena mengenal Tuhan dan terus mengarahkan perhatian dan renungan kepada-Nya. Kelak jiwa ini akan di tempatkan di sorga. Kedua: jiwa fasiqah yakni jiwa yang kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya di neraka. Karena pada mulanya jiwa ini telah mengenal Allah, tetapi kemudian melupakan-Nya dengan melakukan berbagai maksiat. Ketiga: jiwa Jahiliyyah yakni jiwa yang musnah karena tidak pernah mengenal Allah sama sekali. Jiwa jenis ini sama halnya dengan hewan yang melata.

 

KESIMPULAN

Ibn Thufail adalah merupakan salah satu filosof muslim dari dunia Islam Barat yang mana sebagaimana seorang filosof beliau juga sama halnya dengan para filosof lain yaitu beliau menguasai berbagai macam bidang ilmu seperti kedokteran, matematika, fisika, dan lain sebagainya. Walaupun mungkin pemikiran-pemikirannya berbeda dengan filosof lain tapi tidak semuanya berbeda ada sebagian pendapatnya yang sejalan dengan filosof lain.

Salah satu peninggalan Ibn Thufail yang diwariskan kepada generasi berikutnya adalah sebuah karya monumentalnya yang berjudul Hayy Ibn Yaqzhan yang merupakan sebuah roman dan berisi tentang pemikiran-pemikiran Ibn Thufail tentang berbagai hal yang dikemas dalam sebuah cerita seperti dalam roman tersebut.

Berbagai macam pemikiran Ibn Thufail tertuang dalam roman tersebut seperti pemikirannya tentang filsafat dan agama, tentang epistimologi, metafisika, kosmologi cahaya, dan tentang jiwa.
===============================@@@==============================
REFERENSI : 

Bakhtyar Husain Siddiqi, “ibn Thufail”, dalam M.M. Sharif, (ed.), A History of Muslim Philosofphy, Vol. I (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963)


Dr. Hasyimsah Nasution, MA, (1999). Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Dr. Hasyimsah Nasution, MA. (1999). Filsafat Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama.

Ilyas Hasan. (1989). Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih pada pengunjung dan silahkan tinggalkan komentar disini.... :)